Thursday, March 11, 2010

Batu Bara

Sumber : http://ilmubatubara.wordpress.com/

Batubara meliputi litbang, perekayasaan dan pelayanan jasa di bidang karakterisasi, teknologi pengolahan, konversi dan pembakaran batubara.


Litbang ini dilakukan secara terpadu dengan kelompok-kelompok litbang lain yang ada di tekMIRA dengan sasaran utama mendukung program pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM/kayu bakar melalui diversifikasi energi, peningkatan penggunaan batubara dalam negeri, penghematan dan peningkatan devisa melalui ekspor serta peningkatan PNBP.


Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dirintis sejak awal tahun 1970-an, dan terus berkembang mengingat batu bara yang semula hanya dibakar untuk diambil panasnya, kemudian diproses untuk mendapatkan batubara dengan kualitas yang lebih baik atau bahan yang lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan.

Sampai dengan akhir tahun 1980 sebagian besar kegiatan litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan batubara masih dalam skala laboratorium. Namun sesudah itu kegiatan litbang sudah mengarah kepada aplikasi dengan membangun berbagai pilot plant yang diharapkan dapat mengetahui optimalisasi proses, pengujian produk pada pengguna dan kelayakan ekonomi dari proses tersebut.

Untuk mempercepat implementasi hasil litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan batubara pada skala industri, tekMIRA sedang dan akan membangun beberapa pilot plant di Palimanan Cirebon dalam suatu Pusat Teknologi Batubara Bersih yang disebut Clean Coal Technology Centre atau disingkat Coal Centre.

Kegiatan unggulan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara terdiri dari peningkatan kualitas batubara peringkat rendah melalui proses Upgraded Brown Coal (UBC), pengembangan briket, gasifikasi, pencairan dan pembuatan kokas. Sedangkan hasil yang sudah dapat diimplementasikan diantaranya penggunaan briket untuk peternakan ayam, pemindangan ikan, ekstraksi daun nilam dan penggunaan batubara sebagai bahan bakar langsung pada industri bata, genteng, kapur dan industri gula merah.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara didukung oleh fasilitas :
Laboratorium penelitian dan penerapan.
Laboratorium pengujian sifat kimia dan fisika yang telah terakreditasi berdasarkan ISO 17025.
51 orang tenaga fungsional terdiri dari peneliti, perekayasa dan teknisi dari berbagai keahlian berdasarkan disiplin ilmu, yang berbeda-beda antara lain : kimia dan fisika batubara, pengolahan batu bara dan teknologi pemanfaatan batu bara.

Untuk lebih mempercepat program Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dilakukan kerjasama dengan berbagai institusi litbang baik di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain :
Pembangunan pilot plant briket bio batubara kerjasama dengan NEDO-METI, (Jepang).
Pembangunan pilot plant peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses UBC kerjasama dengan Kobe Steel (Jepang), JCOAL (Jepang) dan BPPT.
Pencairan batubara Indonesia kerjasama dengan NEDO (Jepang) dan BPPT.
Daur ulang minyak bekas dengan menggunakan batubara sebagai absorban, kerjasama dengan KOBE Steel (Jepang) dan LEMIGAS.
Proses pengeringan teh dengan batubara melalui gasifikasi kerjasama dengan PPTK Gambung.
Pengujian sifat kimia dan fisika batubara kerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia, PTBA dan perusahaan batubara lainnya.

Pembangunan dan kegiatan litbang pilot plant briket biobatubara dan pilot plant UBC dilakukan di SENTRA TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA DI PALIMANAN CIREBON.

Karya Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara yang meliputi teknologi pengolahan, teknologi konversi dan teknologi pembakaran yang diaplikasikan, diantaranya :

1. Teknologi Pengolahan
Peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses Upgraded Brown Coal (UBC).
Percobaan penerapan teknologi coal water fuel sebagai bahan bakar boiler pada industri tekstil.
Pengembangan metode penurunan kadar natrium batubara Lati, Berau, Kalimantan Timur.
Pengembangan metode pencampuran batubara (coal blending) Kalimantan Tengah untuk pembuatan kokas metalurgi.
Pencucian batubara.
Desulfurisasi limbah batubara dengan flotasi kolom.

2. Teknologi Konversi
Pengembangan briket kokas dari batubara dan green coke.
Proyek pencairan batubara 2002 : uji tuntas (due diligence) pre-FS Batu Bara Banko.
Pengembangan briket bio coal Palimanan.
Pemanfaatan produk gasifikasi batubara untuk pengeringan teh di Gambung Ciwidey, Jawa Barat.
Briket kokas untuk pengecoran logam.

3. Teknologi Pemanfaatan Batubara

3.1. Bahan Bakar Langsung
Penyerapan gas SO2 dari hasil pembakaran briket bio batubara dengan unggulan zeolit.
Pengembangan model fisik tungku pembakaran briket biocoal untuk industri rumah tangga, pembakaran bata/genteng, boiler rotan dan pengering bawang.
Tungku hemat energi untuk industri rumah tangga dengan bahan bakar batubara/briket bio batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku tegak system terus menerus skala komersial dengan batubara halus menggunakan pembakar siklon.
Tungku pembuatan gula merah dengan bahan bakar batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku system berkala dengan kombinasi bahan bakar batubara – kayu.
Pembakaran bata-genteng dengan batubara.

3.2. Non Bahan Bakar
Pengkajian pemanfaatan batubara Kalimantan Selatan untuk pembuatan karbon aktif.
Daur ulang minyak pelumas bekas dengan menggunakan batubara peringkat rendah sebagai penyerap.

sumber : Tekmira http://www.tekmira.esdm.go.id/
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Teknologi & Penelitian
& Komentar »
Fundamental of Coal Petrology 7 Oktober 2006

Asal-usul Peat (Gambut)

Lapisan batubara umumnya berasal dari peat(gambut) deposit di suatu rawa. Faktor-faktor penting dalam pembentukkan peat:
Evolusi perkembangan flora
Iklim
Geografi dan struktur daerah



Evolusi Perkembangan Flora

Batubara tertua yang berumur Hurorian Tengah dari Michigan berasal dari alga dan fungi. Sedangkan pada jaman Devon Bawah dan Atas, batubara kebanyakan berasal dari Psilophites (spt: Taeniocrada decheniana (lower devon)). Kebanyakan batubara dari jaman ini memiliki rata-rata lapisan yang tipis(3-4m) dan tidak punya nilai ekonomis.

Pada Carbon Atas, tumbuhan mulai tinggi-tinggi hingga mencapai ketinggian lebih dari 30m namun belum seberagam sekarang. Pada jaman ini didominasi oleh: Lepidodendron, Sigillaria, Leginopteris oldhamia, Calamitea. Jaman Upper Carboniferous dikenal sebagai perioda bituminous coal.


Lapisan penting batubara berumur Perm terdapat di USSR, dominan terbentuk dari Gymnosperm cordaites.

Pada jaman Mesozoic terutama Jura dan Cretaceous Bawah, Gymnosperm(Ginkcophyta, Cycadophyta dan Cornifers) merupakan tumbuhan penting pembentuk batubara, terutama di Siberia dan Asia Tengah.


Pada rawa-rawa berumur Cretaceous Atas dan Tersier tumbuhan Angiosperm tumbuh dengan pesat di N. America, Europe, Japan dan Australia.

Jika dibandingkan dengan tumbuhan pada masa Carbon, tumbuhan pada jaman Mesozoic terutama jaman Tersier lebih beragam dan spesifik serta menghasilkan deposit peat yang tebal dan beragam dalam tipe fasiesnya.

Perkembangan dan evolusi flora akan berpengaruh pada keragaman jenis dan tipe batubara yang dihasilkan.




Iklim


Pada iklim yang lebih hangat dan basah tumbuhan tumbuh lebih cepat dan beragam. Lapisan-lapisan kaya batubara berumur Carbon Atas, Cretaceous Atas dan Tersier Awal diendapkan pada iklim seperti ini. Namun pada hemisphere selatan dan Siberia juga terdapat endapan batubara yang kaya yang diendapakan pada iklim yang sedang hingga dingin, contohnya batubara inter-post glacial PermoCarbon Gondwana (dari Ganganopteris glossopteris) dan batubara umur Perm dan Jura Bawah dari Angara konitnen.

Lapisan batubara yang diendapkan pada iklim hangat dan basah biasanya lebih terang dan tebal dibandingkan dengan yang diendapkan pada iklim basah.



Paleogeografi dan Tectonic Requirement


Formasi lapisan tergantung pada hubungan paleogeografi dan struktur pada daerah sedimentasi. Pembentukan peat(gambut) terjadi pada daerah yang depresi permukaan dan memerlukan muka air yang relatif tetap sepanjang tahun diatas atau minimal sama dengan permukaan tanah. Kondisi ini banyak muncul pada flat coastal area dimana banyak rawa yang berasosiasi dengan persisir pantai. Selain itu rawa-rawa juga muncul di darat(shore or inland lakes). Tergantung pada posisi asli geografinya, endapan batubara paralic(sea coast) dan limnic(inland) adalah berbeda.

Paralic coal swamps memiliki sedikit pohon atau bahkan tanpa pohon dan terbentuk diluar distal margin pada delta. Pembentukkannya merupakan akibat dari regresi dan transgresi air laut. Banyak coastal swamps besar yang berkembang dibawah perlindungan sand bars dan pits sehingga dapat menghasilkan endapan batubara yang tebal.

Back samps terbentuk dibelakang tanggul alam sungai besar. Pada back swamps, peats(gambut) kaya dengan mineral matter akibat banjir yang sering terjadi. Peat deposits hanya dapat terawetkan pada daerah subsidence. Akibatnya endapan yang kaya batubara banyak berhubungan dengan daerah ini, seperti yang sering muncul pada foredeep pada suatu pegunungan lipatan yang besar.

Sikuen sediment yang tebal dimana didalamnya terdapat lapisan tipis batubara(<2m) batubara =" A" a =" bobot" b =" berat" c =" area" tonnase =" ketebalan"> 300

Untuk kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.

Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
& Komentar »
Kualitas Batubara 23 September 2006

Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank).

Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas dan Klasifikasi Batubara

Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya adalah analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air, zat terbang, karbon padat, dan kadar abu, sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian.

Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing and Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)(Tabel 5.2). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) :







dimana :

FC = % karbon padat (adb)

VM = % zat terbang (adb)

M = % air total (adb)

A = % Abu (adb)

S = % sulfur (adb)

Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb

Tabel 5.2
Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)
Class
Group
Fixed Carbon ,% , dmmf
Volatile Matter Limits, % , dmmf
Calorific Value Limits BTU per pound (mmmf)

Equal or Greater Than
Less Than
Greater
Than
Equal or Less Than
Equal or Greater Than
Less

Than
Agglomerating Character

I Anthracite*
1.Meta-anthracite
98


2


nonagglomerating

2.Anthracite
92
98
2
8




3.SemianthraciteC
86
92
8
14




II Bituminous
1.Low volatile bituminous coal
78
86
14
22




2.Medium volatilebituminous coal
69
78
22
31




3.High volatile A bituminous coal

69
31

14000D

commonly

4.High volatile B bituminous coal




13000D
14000
agglomerating**E

5.High volatile C bituminous coal




11500
13000







10500
11500
agglomerating

III Subbituminous
1.Subbituminous A coal




10500
11500


2.Subbituminous B coal




9500
10500


3.Subbituminous C coal




8300
9500
nonagglomerating

IV. Lignite
1.Lignite A




6300
8300


1.Lignite B





6300



Contoh hasil analisa batubara




Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
& Komentar »
Lingkungan Pengendapan Batubara 23 September 2006

Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.

Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.

Tabel 2.1

Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara

(Diesel, 1992)Environment Subenvironment Coal Characteristics
Gravelly braid plain Bars, channel, overbank plains, swamps, raised bogs mainly dull coals, medium to low TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, swamp, raised bogs, mainly dull coals, medium to high TPI, low to medium GI, low sulphur
Alluvial valley and upper delta plain channels, point bars, floodplains and basins, swamp, fens, raised bogs mainly bright coals, high TPI, medium to high GI, low sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, channel, swamps, fans and marshes mainly bright coals, low to medium TPI, high to very high GI, high sulphur
Backbarrier strand plain Off-, near-, and backshore, tidal inlets, lagoons, fens, swamp, and marshes transgressive : mainly bright coals, medium TPI, high GI, high sulphur


regressive : mainly dull coals, low TPI and GI, low sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and marshes mainly bright coal with high GI and medium TPI


Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).

Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.

Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination.

Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus – sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.

Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.

Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.

Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
& Komentar »
Batubara 23 September 2006

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).

peatification coalification

Endapan organik Gambut Batubara

Biokimia geokimia

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
& Komentar »
Up-grading Minyak Batubara 12 Juni 2005

PENGARANG :
Hartiniati
SUMBER :
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 2000, Vo. 2, No. 1 hal. 1-8. /HUMAS-BPPT/ANY
RINGKASAN :
As a transportation fuel, coal Liquefied oil requires certain quality improvement known as upgrading due to its higher concentrations of nitrogen, sulfur, oxygen dan aromatics than petroleum fraction. Experiments using small-scale fixed bed reactor show that there is an improvement in the quality of recycle-solvent used for coal liquefaction after first hydrotreatment. Coal slurry using first hydrotreated oil as solvent shows lower viscosity than that of non-hydrotreated oil, and if it is mixed with Banko coal, the coal concentration could achieve as high as 50%. Nitrogen and sulfur contents in hydrotreated oil are reduced to negligible level and the storage stability remarkably improves after hydrotreatment. The quality of fuel from second hydrotreatment is still lower than that of petroleum product in terms of ‘cetane number’, ’smoke point’, contents of sulfur and aromatics.
KATA KUNCI :
hydrotreatment, pencairan batubara, heteroatom, Banko, Yallourn
PENDAHULUAN :
Riset Pencairan Batubara untuk memproduksi BBM sintetis di Indonesia sudah berlangsung sejak awal tahun 1990-an, namun perkembangannya secara nyata dengan target komersial baru dimulai sejak awal tahun 1994, setelah perjanjian kerjasama riset ditandatangani antara BPPT dan NEDO.
Berbagai jenis batubara muda Indonesia telah diuji, dengan hasil yang sangat menjanjikan, hasil tertinggi diperoleh dari batubara Banko dengan produk minyak sekitar 70%. Dibandingkan dengan batubara Yallourn dari Australia yang hanya menghasilkan minyak <60%, hasil tersebut memang sangat signifikan, terutama dilihat dari segi biaya, dan harga minyak batubara yang semakin kompetitif. Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa batubara Banko dapat memproduksi BBM, produk setengah jadi, dengan harga sekitar US $ 18/barrel. Melihat harga minyak dewasa ini yang telah mencapai US$ 30- 32/barel, maka studi pencairan batubara ini sangat dirasa perlu untuk dilanjutkan hingga tingkat komersialisasi.
KESIMPULAN :
Hasil pengujian produk batubara cair melalui proses up-grading atau hydrotreatment menggunakan reaktor fixed bed dengan katalis Ni-Mo-P/Al2O, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Proses hydrotreatment tahap 1 ternyata dapat meningkatkan kualitas pelarut tertersirkulasi (recycle solvent) sebagai donor hidrogen pada proses pencairan batubara.
Slurry batubara dengan menggunakan minyak hasil hydrotreatment tahap 1 menunj
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Teknologi & Penelitian
& Komentar »
Untuk Gantikan BBM Pemerintah akan Gunakan Batubara Cair 5 April 2005

sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=193264&kat_id=4

JAKARTA–Butuh payung hukum yang kuat dan dukungan dari presiden. emerintah berencana menggunakan batubara cair untuk mengurangi beban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat. “Kita harus mengurangi konsumsi Bahan bakar Minyak, salah satunya adalah bagaimana batubara bisa kita cairkan kemudian kita jadikan BBM dimana nantinya bisa menggantikan pemakaian BBM,” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro seusai bertemu wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Senin.

Menurut Purnomo untuk itu, ia membutuhkan payung hukum yang kuat dan kebijakan secara nasional oleh Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Namun ketika ditanyakan payung hukum seperti apa yang diinginkannya, Purnomo belum bisa menjawab karena ia harus mempresentasikan hal ini kepada Presiden Yudhoyono setelah kunjungan ke luar negeri.

“Yang jelas hal itu perlu dukungan dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk keluarkan kebijakan untuk menggantikan BBM ini,” kata Purnomo.

Menurut rencana produksi batubara cair tersebut akan dilakukan di Sumatra Selatan karena memiliki cadangan batubara yang sangat besar. Saat ini cadangan batubara Indonesia sangat besar masih sekitar 70 tahun. Untuk itu bisa digunakan sebagai pengganti BBM yang untuk kebutuhan nasional saat ini mencapai 85,6 juta kilo liter per tahun. Penggunaan batubara cair, tambah Purnomo, saat ini juga telah dilakukan di Afrika Selatan.

Sementara itu menanggapi peran OPEC akibat harga minyak dunia yang terus meningkat, Purnomo mengatakan OPEC tidak bisa lagi lakukan kontrol atas harga minyak dunia.

OPEC, tambahnya saat ini hanya memiliki pangsa pasar minyak dunia sebesar 40 persen. “OPEC tidak bisa berdaya dengan penjualan minyak yang tak bisa dikontrol,” katanya. Meskipun, tambahnya saat ini OPEC telah berusaha untuk menaikan produksinya hingga 500 ribu barel. Sejauh ini, tambahnya pemerintah Indonesia setuju dengan segala usaha apapun juga untuk menurunkan harga minyak dunia.

Seiring dengan meningkatnya permintaan dan ketatnya produksi minyak dunia, harga minyak di pasar dunia pada triwulan keempat tahun 2005 menurut perkiraan pengamat perminyakan, Dr Kurtubi, bisa mencapai 60 dolar AS per barel.

“Sekarang kita sudah masuk ke triwulan kedua tetapi harga minyak masih bertahan pada 55 dolar AS. Saya khawatir kalau selama triwulan ini harga tetap bertahan pada kisaran itu, harga minyak pada triwulan ketiga dan keempat akan jauh melebihi perkiraan saya,” katanya kemarin.

Jika pada triwulan kedua tahun 2005 harga minyak dunia masih berkisar 55 dolar per barel maka, menurut dia, Indonesia dan dunia harus bersiap-siap menerima kenyataan melambungnya harga minyak West Texas Intermediate/WTI (yang menjadi acuan perdagangan minyak mentah dunia-red) selama tahun
2005-2006 akan mencapai 60 dolar per barel.

Biasanya, kata dia, berdasarkan perilaku permintaan minyak di pasar dunia, pada triwulan kedua harga minyak akan tertekan sehingga menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak pada triwulan sebelumnya meskipun tidak akan lebih rendah dari 40 dolar per barel (batas bawah patokan harga minyak OPEC).

Namun hingga memasuki masa-masa awal triwulan kedua tahun 2005 harga minyak di pasaran dunia sama sekali tidak mengalami penurunan. “Hal ini terjadi karena faktor fundamental dimana permintaan minyak dunia sangat tinggi tahun 2005. Saya perkirakan jumlahnya mencapai 84 juta barel per hari atau sekitar
2 juta barel lebih banyak dibandingkan permintaan minyak tahun 2003 yang hanya 82,5 juta barel per hari,” katanya. Tingginya laju permintaan minyak pada tahun 2005 itu menurut dia disebabkan oleh masih tingginya laju permintaan minyak dari China yang belakangan ini juga diikuti oleh India.