Wednesday, July 6, 2011

ANGGAPAN PEMBENTUKAN LAMBAT-STADIUM SERPIH

Kita telah mengetahui bahwa pembentukan minyak bumi secara populer adalah serpih yang kaya zat organik mengalami penimbunan dan oleh temperatur tinggi dan tekanan, berubah menjadi minyak bumi dan kemudian bermigrasi. Dengan demikian batuan induk harus mengalami suatu stadium serpih (shale stage) dahulu sebelum dapat menghasilkan minyak bumi. Berbagai fakta yang menunjukkan bahwa minyak bumi dapat terbentuk segera setelah sedimentasi memperkuat adanya kemungkinan terbentuknya minyak bumi sebelum diagenesa/litifikasi. Namun harus diungkapkan, bahwa adanya perbedaan prinsipiil antara hidrokarbon yang terdapat di sedimen Resen dan yang terdapat dalam minyak bumi. Dalam hal yang pertama, tidak terdapat hidrokarbon dalam kisaran C2 - C14 juga tidak ada aromat dari golongan molekul rendah, sedangkan yang lebih ringan dari nonane (C90) pada umumnya tak didapatkan di sedimen Resen. ternyata pula, bahwa hidrokarbon berat terdapat jauh lebih sedikit dalam sedimen Resen daripada dalam sedimen tua (Hunt, 1967). Selain itu Bray dan Evans (1961) menemukan bahwa pada pada sedimen Resen, hidrokarbon dari seri parafin memperlihatkan atom karbon bernomor ganjil yang lebih dominan daripada yang bernomor genap. Hal ini tidak terdapat pada minyak bumi, dengan beberapa kekecualian. Dengan demikian mazhab Eropa (Welte, dan sebagainya) berpendapat, bahwa hidrokarbon dalam sedimen Resen ini bukanlah yang akan menjadi minyak bumi, atau setidak-tidaknya harus mengalami perubahan lebih dulu. Tetapi pada umumnya mazhab ini menganggap bahwa suatu batuan induk dapat beberapa kali menghasilkan minyak bumi, masing-masing dengan sifat kimia yang berbeda dan juga mekanisme migrasi yang berbeda-beda. Dofour (1957) menerangkan, bahwa terbentuknya minyak bumi di Sumatra Selatan terjadi dengan dua kali pembentukan. Yang dianggap sebagai batuan induk adalah Telisa Shale (Formasi Gumai, Telisa Group). Segera setelah sedimentasi, formasi ini menghasilkan minyak bumi dengan parafin berat dan mengandung lilin, yang segera bermigrasi ke Formasi Talang Akar yang terdapat di bawahnya atau ekivalen lateralnya. Pada ororgenesa akhir Tersier, batuan induk ini mengalami 'cracking', sehingga menghasilkan minyak bumi parafin ringan kemudian bermigrasi ke Formasi Air Benakat (L. Palembang) dan Formasi Muara Enim (M. Palembang) (Lapangan Mangunjaya) pada beberapa tempat mengalami oksidasi dan menghasilkan minyak bumi aspaltis (Lapangan Kampong Minyak). Welte (1964) mengemukakan teorinya mengenai hubungan antara batuan induk dan minyak bumi, dimana batuan induk dapat beberapa kali menghasilkan minyak bumi dengan sifat kimia yang berlainan dan mempunyai hubungan erat sekali dengan perkembangan cekungan sedimen. Ia beranggapan, bahwa proses pembentukan minyak terutama disebabkan karena degradasi termis sedangkan peranan bakteri diragukan, atau paling-paling hanya pada pembusukan atau persiapan untuk proses selanjutnya. Jadi pada stadium permulaan dari diagenesa tak terbentuk minyak bumi yang sebenarnya. Minyak bumi pertama-tama dibentuk pada kedalaman 500-600 meter, dengan kenaikan temperatur 64 derajat celcius (disebabkan gradien geotermis) bersamaan dengan kompaksi. Pada stadium ini dihasilkan minyak bumi yang bermolekul berat, banyak mengandung iso-parafin, banyak mengandung komponen oksigen dan memperlihatkan sedikit banyak preferensi terhadap nomor atom C yang ganjil. Mekanisme migrasi primer di sini terutama berlangsung dengan jalan 'micelle' (Baker, 1962) berhubung dekarboxilasi belum sempurna, masih banyak ujung molekul yang bersifat hidrofil dan hidrofob. Karena kompaksi, koloid yang terbentuk dialirkan ke luar bersama-sama air. penurunan cekungan mengakibatkan batuan induk- teutama yang berada di tengah-tengah -menderita peningkatan temperatur dan tekanan. Peningkatan temperatur menyebabkan degradasi termal lebih lanjut, sehingga perbandingan iso-/n-parafin menjadi lebih kecil, komponen hetero (oksigen antara lain) berkurang, dan berat molekul rata-rata hidrokarbon menjadi lebih kecil. keadaan ini menghasilkan minyak bumi yang lebih ringan/lebih bersifat parafin, dan meninggalkan suatu residu organik yang tak larut dalam batuan induk. Adanya tekanan, menyebabkan porositas makin berkurang dan dengan demikian memelihara terdapatnya tenaga penggerak untuk migrasi. Dengan demikian kita mendapat berbagai macam minyak bumi yang dihasilkan oleh suatu batuan induk, sesuai dengan stadium perkembangan dari cekungan. Berhubung pada stadium akhir gugusan karboxil telah banyak hilang karena degradasi termal, maka migrasi 'micelle' tidak lagi efektif, dan migrasi berlangsung terutama dengan mekanisme larutan minyak dalam gas bumi9Sokolov, 1964) yang bertambah efektif dengan meningkatnya tekanan dan temperatur. Konsepsi degradasi termal, dewasi ini dikembangkan secara meluas di Amerika Serikat yang semula dipelopori oleh Phillipi (1967) untuk daerah cekungan Ventura, California, dan dikembangkan dengan konsepsi pematangan minyak bumi.